Tuesday, March 26, 2019

Pengakuan Masyarakat Adat di KLU? "Setengah Hati"

Begitu kentalnya tatanan nilai-nilai hukum adat yang dibuktikan dengan masih berlakunya nilai-nilai moral dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat di bumi dayan gunung tidak dapat dipungkiri dan sampai saat ini diakui oleh masyarakat lokal dan masyarakat dibelahan lain di pulau Lombok.

"Dahsyatnya" gerakan masyarakat adat di Lombok Utara dalam memelihara nilai itu ditandai dengan semangat mengorganisir kekuatan masyarakat yang dimulai sejak tahun 1999, jauh sebelum diproklamirkannya wilayah Kabupaten Lombok Utara sebagai wilayah otonomi yang berdiri sendiri dan terpisah dari Kabupaten Lombok Barat induknya kala itu.

Sebut saja Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara atau PEREKAT OMBARA yang memiliki sejarah sendiri dalam membangun kekuatan untuk memperjuangkan pengakuan dan mempertahankan nilai-nilai hukum adat, yang kemudian diperkuat lagi dengan berdirinya organisasi nasional yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN yang kemudian ikut memberikan semangat baru dalam perjuangan

Geliat gerakan organisasi dalam memperjuangkan visi misi dan eksistensinya ditengah masyarakat pada awalnya harus berhadapan dengan tantangan-tantangan berat, karena berhadapan dengan kebijakan negara memandang gerakan ini dengan sebelah mata, dinamika kehidupan bermasyarakat, kebijakan politik, ekonomi dan martabat budaya sebagai hal-hal prinsip dan komplek menjadi kekuatan untuk kemudian terus bertahan dengan perjuangan yang tidak gampang.

Diawal berdirinya otonomi baru Kabupaten Lombok Utara, gerakan masyarakat hukum adat mendapatkan "angin segar" dan semangat baru, dengan pandangan sederhana bahwa secara simbol, eksistensi masyarakat adat di Lombok Utara termuat dalam logo kabupaten. Kendati ruh perjuangan yang hidup dalam nilai-nilai yang harus ditumbuhkembangkan dan dijaga masih butuh perjuangan panjang.

Selanjutnya, secara pandangan sederhana, setelah era kedua kepemimpinan di Kabupaten Lombok Utara, perjuangan gerakan masyarakat adat sepertinya mendapat "ruang khusus" dari Pemerintah Daerah KLU, "sepertinya" geliat aktivitas organisasi mendapat perhatian, para aktivis-aktivis organisasi dirangkul untuk ikut bersama-sama dalam dalam marancang arah pembangunan di Lombok Utara.

Jika inilah sejatinya yang terjadi, maka harapan masyarakt adat di bumi Dayan Gunung ini untuk : Bermartabat secara Budaya, Mandiri secara Ekonomi dan Berdaulat secara Politik bukanlah mimpi lagi, tapi mengarah pada kenyataan.
Atau "rangkulan" itu hanya sekedar untuk : hembusan angin segar yang melenakan, meredam kritik dari kekuatan civil, meng"amankan" kekuasaan yang justru tanpa disadari akan menumbuh suburkan kapitalis...Wallohua'alam bissowab.

Hari ini, melihat panomena lambannya penanganan pasca bencana di KLU, sangat jelas terlihat bahwa, para penyelenggara kebijakan daerah ini masih sangsi terhadap karakter masyarakat adat Lombok Utara yang santun dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, pemerintah tidak memberikan ruang dan kepercayaan kepada masyarakatnya untuk bangkit kembali dengan mengaplikasikan cara-cara yang disebut sebagai "kearifan lokal" yang diyakini turun temurun dari leluhur.

Lebih spesifik lagi terkait pembangunan rumah ramah gempa untuk masyarakat, pemerintah lebih serius untuk mendorong dan mengkampanyekan gaya rumah yang direkomendasikan PUPR daripada menggali dan meneliti kearifan lokal Warga Dayan Gunung dan mempercayai mereka untuk membangunnya sendiri.
Tentu semua atas dasar pertimbangan aturan, agar kebijakan tidak melanggar aturan. Disitulah para pemangku kebijakan dengan jeli melihat kemungkinan menafsirkan aturan untuk sebesar besarnya bermanfaat buat masyarakat, bukan mendorong kebijakan yang menumbuh suburkan kapitalis dan persaingan yang mengorbankan warga.

Kemana suara para pejuang masyarakat adat, kekuatan-kekuatan civil yang selalu membanggakan nilai Kearifan Lokal bumi Dayan Gunung ini?